Minggu, 03 Maret 2013

Sejarah Pasar Modal di Indonesia


Sejarah Pasar Modal di Indonesia

Sejarah pasar modal Indonesia yang berkaitan dengan kegiatan jual beli saham dan obligasi dimulai pada abad ke-19. Dalam buku Effectengids yang dikeluarkan oleh Verreniging voor den Effectenhandel pada 1939, dijelaskan jual beli efek telah berlangsung sejak 1880. Pada 14 Desember 1912, Amserdamse Effectenbueurs mendirikan cabang bursa efek di Batavia. Di tingkat Asia, bursa Batavia tersebut merupakan yang tertua keempat setelah Bombay, Hongkong, dan Tokyo. 

Zaman Penjajahan

Awal abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda mulai mem bangun perkebunan secara besar-besaran di Indonesia. Orang-orang Belanda dan Eropa lainnya merupakan penabung yang penghasilannya sangat jauh lebih tinggi daripada penghasi lan penduduk pribumi. Oleh karena itu, mereka menjadi penabung yang telah dilibatkan sebaik-baiknya sebagai sumber dana. 

Atas dasar itulah pemerintahan kolonial mendirikan pasar modal. Setelah mengadakan persiapan, akhirnya pada 14 Desember 1912 berdiri secara resmi pasar modal di Indonesia yang terletak di Batavia (Jakarta) yang bernama Vereniging voor de Effectenhandel (bursa efek) dan langsung memulai perdagangan. 

Pada awalnya terdapat 13 anggota bursa yang aktif, yaitu Fa. Dunlop & Kolf, Fa. Gijselman & Steup, Fa. Monod & Co, Fa. Adree Witansi & Co, Fa. A.W. Deeleman, Fa. H. Jul Joostensz, Fa. Jeannette Walen, Fa. Wiekert & V.D. Linden, Fa. Walbrink & Co, Wieckert & V.D. Linden, Fa. Vermeys & Co, Fa.Cruyff, dan Fa. Gebroeders.


Adapun efek yang diperjualbelikan berupa saham dan obligasi perusahaan atau perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan pemerintah (provinsi dan kotapraja), sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di negeri Belanda, serta efek perusahaan Belanda lainnya.

Perkembangan pasar modal di Batavia begitu pesat sehingga menarik masyarakat kota lainnya. Untuk menampung minat tersebut, pada 11 Januari 1925 di kota Surabaya dan 1 Agustus 1925 di Semarang resmi didirikan bursa. 
Sponsor

Anggota bursa di Surabaya, yaitu Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. V. Van Velsen, Fa. Beaukkerk & Cop, dan N. Koster. Adapun anggota bursa di Semarang waktu, yaitu Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. Monad & Co, Fa. Companien & Co, dan Fa. P.H. Soeters & Co. Perkembangan pasar modal waktu itu cukup menggembirakan. Hal ini yang terlihat dari nilai efek yang tercatat mencapai NIF 1,4 miliar yang berasal dari 250 macam efek.

Masa Perang Dunia II

Pada tahun 1939 keadaan suhu politik di Eropa menghangat dengan memuncaknya kekuasaan Adolf Hitler. Melihat keadaan ini, pemerintah Hindia Belanda mengambil kebijaksanaan untuk memusatkan perdagangan efeknya di Batavia serta menutup bursa efek di Surabaya dan Semarang. 

Namun, pada 17 Mei 1940 secara keseluruhan kegiatan perdagangan efek ditutup dan dikeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa semua efek harus disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penutupan ketiga bursa efek tersebut sangat mengganggu likuiditas efek, menyulitkan para pemilik efek, dan berakibat pula pada penutupan kantor-kantor pialang serta pemutusan hubungan kerja. Selain itu, mengakibatkan banyak perusahaan dan perseorangan ketakutan untuk menginvestasikan modalnya di Indonesia. Dengan demikian, pecahnya Perang Dunia II menandai berakhirnya aktivitas pasar modal pada zaman penjajahan Belanda. 

Masa Pasar Modal Orde Lama

Setahun setelah pemerintahan Belanda mengakui kedaulatan RI, tepatnya pada 1950, obligasi Republik Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah. Peristiwa ini ditandai mulai aktifnya kembali pasar modal Indonesia.

Diawali dengan diberlakukannya Undang-Undang Darurat No. 13 pada 1September 1951, yang selanjutnya ditetapkan sebagai Undang-Undang No. 15 tahun 1952 tentang bursa, pemerintah RI membuka kembali bursa efek di Jakarta pada 31 Juni 1952, setelah terhenti selama 12 tahun. Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-Efek (PPUE) yang terdiri atas tiga bank negara dan beberapa makelar efek lainnya dengan Bank Indonesia sebagai penasihatnya.

Sejak itu, bursa efek berkembang dengan pesat, meskipun efek yang diperdagangkan adalah efek yang dikeluarkan sebelum Perang Dunia II. Aktivitasnya semakin meningkat sejak Bank Industri Negara mengeluarkan pinjaman obligasi berturut-turut pada 1954, 1955, dan 1956. Para pembeli obligasi banyak warga negara Belanda, baik perseorangan maupun badan hukum. Semua anggota diperbolehkan melakukan transaksi dengan luar negeri terutama dengan Amsterdam.

Masa Konfrontasi

Masa konfrontasi hanya berlangsung sampai 1958, karena saat itu terlihat adanya kelesuan dan kemunduran perdaga ngan di Bursa. Hal tersebut, diakibatkan politik konfrontasi yang dilancar kan pemerintah RI terhadap Belanda sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan mengakibatkan banyak warga negara Belanda meninggalkan Indonesia. 

Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya hubungan Republik Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan memuncaknya aksi pengambilalihan semua perusahaan Belanda di Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958. Kemudian, dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) pada 1960, yaitu larangan bagi bursa efek Indonesia untuk memperdagangkan semua efek dari perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, termasuk semua efek yang bernominasi mata uang Belanda, makin memperparah perdagangan efek di Indonesia.

Tingkat inflasi pada waktu itu cukup tinggi sehingga meng goncang dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pasar uang dan pasar modal, juga terhadap mata uang rupiah yang mencapai puncaknya pada 1966. Penurunan tersebut, mengakibatkan nilai nominal saham dan obligasi menjadi rendah, sehingga tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan pasang surut pasar modal Indonesia pada zaman Orde Lama.

Pasar Modal Orde Baru

Pemerintah Orde Baru mengambil langkah atau kebijakan untuk me ngembalikan kepercayaan rakyat terhadap nilai mata uang rupiah. Di samping pengerahan dana dari masyarakat melalui tabungan dan deposito, pemerintah terus mengadakan persiapan khusus untuk membentuk pasar modal. 

Dengan Surat Keputusan Direksi BI No. 4/16 Kep-Dir Tanggal 26 Juli 1968, BI membentuk tim persiapan Pasar Uang (PU) dan Pasar Modal (PM). Hasil penelitian tim menyatakan bahwa benih dari PM di Indonesia sebenarnya sudah ditanam pemerintah sejak tahun 1952, tetapi karena situasi politik dan masyarakat masih kurang pengetahuan tentang pasar modal maka pertumbuhan bursa efek di Indonesia sejak tahun 1958– 1976 mengalami kemunduran.

Setelah tim tersebut menyelesaikan tugasnya dengan baik dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. Kep-25/MK/IV/1/72 Tanggal 13 Januari 1972 tim dibubarkan, dan pada 1976 dibentuk Bapepam (Badan Pembina Pasar Modal atau sekarang menjadi Badan Pengawas Pasar Modal) dan PT Danareksa. Bapepam bertugas membantu Menteri 
Keuangan yang diketuai oleh Gubernur Bank Sentral.

Dengan terbentuknya Bapepam, maka terlihat kesungguhan dan intensitas untuk membentuk kembali PU dan PM. Selain membantu menteri keuangan, Bapepam juga menjalankan fungsi ganda yaitu sebagai pengawas dan pengelola bursa efek. 

Pada 10 Agustus 1977 berdasarkan Keppres RI No. 52 tahun 1976 pasar modal diaktifkan kembali dan mulai go public beberapa perusahaan. Pada zaman Orde Baru inilah perkembangan PM dapat dibagi menjadi dua, yaitu tahun 1977–1987 dan tahun 1987–sekarang. Perkembangan pasar modal selama tahun 1977–1987 mengalami kelesuan meskipun pemerintah telah memberikan fasilitas kepada perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan dana dari bursa efek. Fasilitas-fasilitas yang telah diberikan antara lain fasilitas perpajakan untuk merangsang masyarakat agar mau terjun dan aktif di pasar modal. 

Terhambatnya perkembangan pasar modal selama periode itu disebabkan oleh beberapa masalah antara lain mengenai prosedur emisi saham dan obligasi yang terlalu ketat, serta adanya batasan fluktuasi harga saham.

Untuk mengatasi masalah itu pemerintah mengeluarkan berbagai deregulasi yang berkaitan dengan perkembangan pasar modal, yaitu Paket Kebijaksanaan Desember 1987, Paket Kebijaksanaan Oktober 1988, dan Paket Kebijaksanaan Desember 1988.
  • Paket Kebijaksanaan Desember 1987 (Pakdes 1987)
Pakdes 1987 merupakan penyederhanaan proses emisi saham dan obligasi, dihapuskannya biaya yang sebelumnya dipungut oleh Bapepam, seperti biaya pendaftaran emisi efek. Selain itu, dibuka kesempatan bagi pemodal asing untuk membeli maksimum 49% dari total emisi. Pakdes 87 juga menghapus batasan fluktuasi harga saham di bursa efek dan memperkenalkan bursa paralel. Sebagai pilihan bagi emiten yang belum memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek.
  • Paket Kebijaksanaan Oktober 1988 (Pakto 88)
Pakto 88 ditujukan pada sektor perbankan, namun memiliki dampak terhadap perkembangan pasar modal. Pakto 88 berisikan ketentuan 3 L (Legal Lending Limit), dan pengenaan pajak atas bunga deposito. Pengenaan pajak ini berdampak positif terhadap perkembangan pasar modal. Sebab dengan keluarnya kebijaksanaan ini berarti pemerintah mem beri perlakuan yang sama antara sektor perbankan dan sektor pasar modal.
  • Paket Kebijaksanaan Desember 1988 (Pakdes 88)
Pakdes 88 pada dasarnya memberikan dorongan yang lebih jauh pada pasar modal dengan membuka peluang bagi swasta untuk menyelenggarakan bursa. Ketiga kebijaksanaan inilah pasar modal menjadi aktif untuk periode 1988 hingga sekarang.